EUTROFIKASI
Kondisi eutrofik sangat
memungkinkan alga, tumbuhan air
berukuran mikro, untuk tumbuh berkembang biak dengan pesat (blooming) akibat ketersediaan fosfat
yang berlebihan serta kondisi lain yang memadai. Hal ini bisa dikenali dengan
warna air yang menjadi kehijauan, berbau tak sedap, dan kekeruhannya yang
menjadi semakin meningkat. Banyaknya eceng gondok yang bertebaran di rawa-rawa
dan danau-danau juga disebabkan fosfat yang sangat berlebihan ini. Akibatnya,
kualitas air di banyak ekosistem air menjadi sangat menurun. Rendahnya
konsentrasi oksigen terlarut, bahkan sampai batas nol, menyebabkan makhluk
hidup air seperti ikan dan spesies lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik
sehingga akhirnya mati. Hilangnya ikan dan hewan lainnya dalam mata rantai
ekosistem air menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem air. Permasalahan
lainnya, cyanobacteria (blue-green algae)
diketahui mengandung toksin sehingga membawa risiko kesehatan bagi manusia dan
hewan. Algal bloom juga menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika,
rekreasional, dan pariwisata sehingga dibutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang
tidak sedikit untuk mengatasinya (Morse et
al., 2003).
Problem eutrofikasi baru disadari pada
dekade awal abad ke-20 saat alga banyak tumbuh di danau-danau dan ekosistem air
lainnya. Problem ini disinyalir akibat langsung dari aliran limbah domestik.
Hingga saat itu belum diketahui secara pasti unsur kimiawi yang sesungguhnya
berperan besar dalam munculnya eutrofikasi ini. Melalui penelitian jangka
panjang pada berbagai danau kecil dan besar, para peneliti akhirnya bisa
menyimpulkan bahwa fosfor merupakan elemen kunci di antara nutrient utama
tanaman (karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P)) di dalam proses eutrofikasi.
Sebuah percobaan berskala besar yang pernah dilakukan pada tahun 1968 terhadap
Danau Erie (ELA Lake 226) di Amerika Serikat membuktikan bahwa bagian danau
yang hanya ditambahkan karbon dan nitrogen tidak mengalami fenomena algal bloom
selama delapan tahun pengamatan. Sebaliknya, bagian danau lainnya yang
ditambahkan fosfor (dalam bentuk senyawa fosfat)-di samping karbon dan
nitrogen-terbukti nyata mengalami algal bloom.
Menyadari bahwa senyawa fosfatlah yang
menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi, maka perhatian para saintis dan
kelompok masyarakat pencinta lingkungan hidup semakin meningkat terhadap
permasalahan ini. Ada kelompok yang condong memilih cara-cara penanggulangan
melalui pengolahan limbah cair yang mengandung fosfat, seperti detergen dan
limbah manusia, ada juga kelompok yang secara tegas melarang keberadaan fosfor
dalam detergen. Program miliaran dollar pernah dicanangkan lewat institusi St
Lawrence Great Lakes Basin di AS untuk mengontrol keberadaan fosfat dalam
ekosistem air. Sebagai implementasinya, lahirlah peraturan perundangan yang
mengatur pembatasan penggunaan fosfat, pembuangan limbah fosfat dari rumah
tangga dan permukiman. Upaya untuk menyubstitusi pemakaian fosfat dalam detergen
juga menjadi bagian dari program tersebut.
Eutrofikasi merupakan proses pengayaan
nutrisi dan bahan organik dalam air atau pencemaran air yang disebabkan
munculnya nutrisi yang berlebihan ke dalam ekosistem perairan. Air dikatakan
tercemar apabila ada pengaruh atau kontaminasi zat organik maupun anorganik ke
dalam air Hubungan itu terkadang tidak seimbang karena setiap kebutuhan
organisme berbeda-beda. Ada yang diuntungkan karena menyuburkan sehingga dapat
berkembang dengan cepat, sedangkan organisme lain terdesak. Perkembangan
organisme perairan secara berlebihan merupakan gangguan dan dapat dikategorikan
sebagai pencemaran, yang merugikan organisme akuatik lainnya maupun manusia
secara tidak langsung. Ini merupakan masalah yang sering dihadapi di seluruh
dunia di ekosistem perairan tawar maupun laut. Eutrofikasi dapat disebabkan
beberapa hal, di antaranya karena ulah manusia yang tidak ramah terhadap
lingkungan Emisi nutrisi dari industri digadang-gadang sebagai penyebab utama
eutrofikasi perairan di Pantai Ancol. Limbah nutrisi sendiri bisa berasal dari
proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), industri,
detergen, pupuk pertanian, limbah manusia, dan peternakan. Limbah yang
mengandung unsur harafoslor dan nitrogen akan merangsang pertumbuhan
fitoplankton atau alga dan meningkatkan produktivitas perairan. Sebaliknya
dalam keadaan berlebihan itu akan memicu timbulnya blooming algae yang justru
merugikan kehidupan organisme yang ada di perairan. Penumpukan bahan nutrisi
itu akan menjadi ancaman kehidupan ikan di perairan pada saat musim pancaroba.
Adanya peningkatan suhu udara, pemanasan sinar matahari, dan tiupan angin
kencang akan menyebabkan terjadinya gotakan air di perairan. Hal itu
menyebabkan arus naik dari dasar perairan yang mengangkat massa air yang
mengendap. Massa air yang membawa senyawa beracun dari dasar danau atau laut
mengakibatkan kandungan oksigen di badan air berkurang. Rendahnya oksigen di
air itulah yang menyebabkan kematian ikan secara mendadak.
Menurut Morse et al. (1993), 10 persen
berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), 7 persen dari industri, 11 persen dari
detergen, 17 persen dari pupuk pertanian, 23 persen dari limbah manusia, dan
yang terbesar, 32 persen, dari limbah peternakan. Paparan statistik di atas
(meskipun tidak persis mewakili data di Tanah Air) menunjukkan bagaimana
berbagai aktivitas masyarakat di era modern dan semakin besarnya jumlah
populasi manusia menjadi penyumbang yang sangat besar bagi lepasnya fosfor ke
lingkungan air.
Mengacu pada buku Phosphorus Chemistry in Everyday Living, manusia memang berperan
besar sebagai penyumbang limbah fosfat. Secara fisiologis, jumlah fosfat yang
dikeluarkan manusia sebanding dengan jumlah yang dikonsumsinya. Tahun 1987 saja
rata-rata orang di AS mengonsumsi dan mengekskresi sejumlah 1,4 lb (pounds)
fosfat per tahun. Bersandar pada data ini, dengan sekitar 290 juta jiwa
populasi penduduk AS saat ini, maka sekitar 406 juta pounds fosfor dikeluarkan
manusia AS setiap tahunnya.
Lantas, berapa jumlah fosfor yang
dilepaskan oleh penduduk bumi sekarang yang sudah mencapai sekitar 6,3 miliar
jiwa? Jika dihitung, akan menghasilkan sebuah angka yang sangat fantastis! Ini
belum termasuk fosfat yang terkandung dalam detergen yang banyak digunakan
masyarakat sehari-hari dan sumber lainnya seperti disebut di atas. Tanpa
pengelolaan limbah domestik yang baik, seperti yang terjadi di negara-negara
dunia ketiga, tentu bisa dibayangkan apa dampaknya terhadap lingkungan hidup,
khususnya ekosistem air.
Berapa sebenarnya jumlah fosfor (P) yang diperlukan
oleh blue-green algae (makhluk hidup air penyebab algal bloom) untuk tumbuh? Ternyata hanya dengan konsentrasi 10
part per billion (ppb/sepersatu miliar bagian) fosfor saja blue-green algae
sudah bisa tumbuh. Tidak heran kalau algal bloom terjadi di banyak ekosistem
air. Dalam tempo 24 jam saja populasi alga bisa berkembang dua kali lipat
dengan jumlah ketersediaan fosfor yang berlebihan akibat limbah fosfat di atas.
Tentu saja limbah fosfat yang lepas ke
lingkungan air akan mengalami pengenceran di sungai-sungai, di samping
sebelumnya telah melewati pula tahap pengolahan limbah domestik. Yang disebut
terakhir secara ketat hanya berlaku di negara maju seperti AS dan Eropa.
Berdasarkan ini pun, ternyata masih akan tersisa sejumlah 12-31 ppb fosfor yang
notabene lebih dari cukup bagi tumbuhnya blue-green algae. Bisa diperkirakan
(sebelum akhirnya dibuktikan) kandungan fosfat di banyak aliran sungai dan
danau di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, akan jauh lebih tinggi dari
angka yang disebutkan di atas. Dari sini kita bisa mengetahui betapa seriusnya
persoalan yang diakibatkan oleh limbah fosfat ini.
Proses Eutrofikasi
Eutrofikasi merupakan proses alamiah dan
dapat terjadi pada berbagai perairan, tetapi bila terjadi kontaminasi
bahan-bahan nitrat dan fosfat akibat aktivitas manusia dan berlangsung terus
menerus, maka proses eutrofikasi akan lebih meningkat. Kejadian eutrofikasi
seperti ini merupakan masalah yang terbanyak ditemukan dalam danau dan waduk,
terutama bila danau atau waduk tersebut berdekatan dengan daerah urban atau
daerah pertanian.
Dilihat dari bahan pencemarannya eutrofikasi
tergolong pencemaran kimiawi. Eutrofikasi adalah pencemaran air yang disebabkan
oleh munculnya nutrien yang berlebihan kedalam ekosistem perairan. Eutrofikasi
terjadi karena adanya kandungan bahan kimia yaitu fosfat (PO3-).
Suatu perairan disebut eutrofikasi jika konsentrasi total fosfat ke dalam air
berada pada kisaran 35-100µg/L. Eutrofikasi banyak terjadi di perairan darat
(danau, sungai, waduk, dll). Sebenarnya proses terjadinya Eutrofikasi
membutuhkan waktu yang sangat lama (ribuan tahun), namun akibat perkembangan
ilmu teknologi yang menyokong medernisasi dan tidak diiringi dengan kearifan
lingkungan maka hanya dalam hitungan puluhan atau beberapa tahun saja sudah
dapat terjadi Eutrofikasi.
Limbah organik kebanyakan akan mengalir ke
sungai, danau atau perairan lainnya melalui aliran air hujan. Limbah organik
yang masuk ke badan air yang anaerob akan dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi)
oleh mikroba anaerobik atau fakultatif (BAN); dengan proses seperti pada reaksi
(3) dan (4):
COHNS + BAN è CO2
+ H2S + NH3 + CH4 + produk lain + energi
… ….(3)
COHNS + BAN + energi è C5H7O2 N (sel MO baru) …..(4)
COHNS + BAN + energi è C5H7O2 N (sel MO baru) …..(4)
Kedua proses tersebut diatas mengungkapkan
bahwa aktifitas mikroba yang hidup di bagian badan air yang anaerob selain
menghasilkan sel-sel mikroba baru juga menghasilkan senyawa-senyawa CO2,
NH3, H2S, dan CH4 serta senyawa lainnya
seperti amina, phospine (PH3) dan komponen fosfor. Asam sulfida (H2S),
amina dan komponen fosfor adalah senyawa yang mengeluarkan bau menyengat yang
tidak sedap, misalnya H2S berbau busuk dan amina berbau anyir.
Selain itu, telah disinyalir bahwa NH3 dan H2S hasil
dekomposisi anaerob pada tingkat konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat
membahayakan organisme lain, termasuk ikan. Selain menghasilkan senyawa yang
tidak bersahabat bagi lingkungan seperti tersebut di atas, hasil dekomposisi di
semua bagian badan air menghasilkan CO2 dan NH3 yang siap
dipakai oleh organisme perairan berklorofil (fitoplankton) untuk aktifitas
fotosintesa; yang dapat digambarkan sebagai reaksi.
Pengaruh pertama proses dekomposisi limbah
organik di badan air aerobik adalah terjadinya penurunan oksigen terlarut dalam
badan air. Fenomena ini akan mengganggu pernafasan fauna air seperti ikan dan
udang-udangan; dengan tingkat gangguan tergantung pada tingkat penurunan konsentrasi
oksigen terlarut dan jenis serta fase fauna. Kesulitan fauna karena penurunan
oksigen terlarut sebenarnya baru dampak permulaaan, sebab jika jumlah pencemar
organik dalam badan air bertambah terus maka proses dekomposisi organik
memerlukan oksigen lebih besar dan akibatnya badan air akan mengalami deplesi
oksigen bahkan bisa habis sehingga badan air menjadi anaerob.
Pada badan air yang anaerob dekomposisi
bahan organik menghasilkan gas-gas, seperti H2S, metan dan amoniak
yang bersifat racun bagi fauna seperti ikan dan udang-udangan. Seperti
penurunan oksigen terlarut; senyawa-senyawa beracun inipun dalam konsentrasi
tertentu akan dapat membunuh fauna air yang ada. Interaksi kompleks antara
nutrien, fitoplankton dan zooplankton tersebut menyebabkan badan air yang
mengalami eutrofikasi pada akhirnya akan didominasi oleh sejenis fitoplankton
tertentu yang pada umumnya tidak bisa dimakan oleh fauna air terutama
zooplankton dan ikan termasuk karena beracun.
Dampak Eutrofikasi
Selain
menurunkan konsentrasi oksigen terlarut, menghasilkan senyawa beracun dan
menjadi tempat hidup mikroba fatogen yang menyengsarakan fauna air; dekomposisi
juga menghasilkan senyawa nutrien (nitrogen dan fosfor) yang menyuburkan
perairan. Nutrien merupakan unsur kimia yang diperlukan alga (fitoplankton)
untuk hidup dan pertumbuhannya. Sampai pada tingkat konsentrasi tertentu,
peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air akan meningkatkan produktivitas
perairan, karena nutrien yang larut dalam badan air langsung dimanfaatkan oleh
fitoplankton untuk pertumbuhannya sehingga populasi dan kelimpahannya
meningkat. Peningkatan kelimpahan fitoplankton akan diikuti dengan peningkatan
kelimpahan zooplankton, yang makanan utamanya adalah fitoplankton. Akhirnya karena
fitoplankton dan zooplankton adalah makanan utama ikan, maka kenaikan
kelimpahan keduanya akan menaikan kelimpahan (produksi) ikan dalam badan air
tersebut. Akan tetapi peningkatan konsentrasi nutrien yang berkelanjutan dalam
badan air, apalagi dalam jumlah yang cukup besar akan menyebabkan badan air
menjadi sangat subur atau eutrofik dan akan merangsang fitoplankton untuk
tumbuh dan berkembang-biak dengan pesat sehingga terjadi blooming sebagai hasil
fotosintesa yang maksimal dan menyebabkan peningkatan biomasa perairan
tersebut.
Sehubungan
dengan peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air, setiap jenis
fitoplankton mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkannya sehingga
kecepatan tumbuh setiap jenis fitoplankton berbeda. Selain itu setiap jenis
fitoplankton juga mempunyai respon yang berbeda terhadap perbandingan jenis
nutrien yang terlarut dalam badan air (Kilham dan. Fenomena ini menyebabkan
komunitas fitoplankton dalam suatu badan air mempunyai struktur dan dominasi
jenis yang berbeda dengan badan air lainnya. Selain merugikan dan mengancam
keberlanjutan fauna akibat dominasi fito-plankton yang tidak dapat dimakan dan
beracun; blooming yang menghasilkan biomasa (organik) tinggi juga merugikan
fauna; karena fenomena blooming selalu diikuti dengan penurunan oksigen
terlarut secara drastis akibat pe-manfaatan oksigen yang ber lebihan untuk
de-komposisi biomasa (organik) yang mati. Seperti pada analisis dampak langsung
tersebut diatas maka rendahnya konsentrasi oksigen terlarut apalagi jika sampai
batas nol akan menyebabkan ikan dan fauna lainnya tidak bisa hidup dengan baik
dan mati. Selain menekan oksigen terlarut proses dekomposisi tersebut juga
menghasilkan gas beracun seperti NH3 dan H2S yang pada konsentrasi tertentu
dapat membahayakan fauna air, termasuk ikan. Selain badan air didominasi oleh
fitoplankton yang tidak ramah lingkungan seperti tersebut diatas, eutrofikasi
juga merangsang pertumbuhan tanaman air lainnya, baik yang hidup di tepian
(eceng gondok) maupun dalam badan air (hydrilla). Oleh karena itulah maka di
rawa-rawa dan danau-danau yang telah mengalami eutrofikasi tepiannya ditumbuhi
dengan subur oleh tanaman air seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes),
Hydrilla dan rumput air lainnya.
Permasalahan
lainnya, cyanobacteria (blue-green algae) diketahui mengandung toksin sehingga
membawa risiko kesehatan bagi manusia dan hewan. Algal bloom juga menyebabkan
hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional, dan pariwisata sehingga
dibutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak sedikit untuk mengatasinya
Dampak
Eutrofikasi
Kematian massal ikan akibat arus balik,
eutrofikasi dan blooming algae setiap tahun terjadi di perairan di Indonesia
dengan kerugian yang besar. Di Danau Maninjau pada Januari 2009 saja kerugian
telah mencapai Rp 150 miliar dan menyebabkan kredit macet Rp 3,6 miliar.
Kerugian ini akibat kematian ikan sekitar 13.413 ton dari 6.286 petak keramba
jaring apung (KJA) dan menyebabkan 3.143 tenaga.
Konsekuansi lebih jauh dari aktivitas
manusia yang melepaskan fosfat dalam limbahnya adalah: penurunan kualitas air,
estetika lingkungan, dan masalah navigasi perairan dan penurunan keanekaragaman
organisme air. Senyawa produk yang dihasilkan bakteri anaerob seperti H2S, amin
dan komponen fosfor adalah senyawa yang mengeluarkan bau menyengat yang tidak
sedap dan anyir. Selain itu telah disinyalir bahwa NH3 dan H2S hasil
dekomposisi anaerob pada tingkat konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat
membahayakan organisme lain, termasuk manusia. Beberapa penyakit akut dapat
disebabkan oleh racun dari kelompok fitoplankton seperti Paralytic Shellfish
Poisoning (PSP), Amnesic Shellfish Poisoning (ASP), dan Diarrhetic Shellfish
Poisoning (DSP). Ketiga racun tersebut mampu melumpuhkan sistem kerja otot,
saraf, dan jantung biota perairan.
Dampak Eutrofikasi di Perairan yaitu Efek
dari eutrofikasi moderat pada perairan yang miskin nutrien tidak bersifat
negatif. Peningkatan pertumbuhan alga dan berbagai vegetasi dapat menguntungkan
bagi kehidupan fauna akuatik. Salah satu contoh adalah produksi ikan meningkat.
Jika eutrofikasi terus berlanjut, pertumbuhan plankton menjadi sangat lebat,
sehingga menutupi perairan. Proses ini akan mengakibatkan gelap di bawah
permukaan air, dan kondisi ini berbahaya bagi vegetasi bentik. Problem yang
serius akibat eutrofikasi ditimbulkan oleh petumbuhan alga sel tunggal secara
hebat, proses dekomposisi dari sel yang mati akan mengurangi oksigen terlarut.
Tanaman akuatik (termasuk alga) akan mempengaruhi konsentrasi O2 dan pH
perairan disekitarnya. Pertumbuhan alga yang pesat, akan menyebabkan fluktuasi
pH dan oksigen terlarut menjadi besar pula. Hal ini akan menyebabkan
terganggunya proses metabolik dalam organisme, yang akhirnya dapat menyebabkan
kematian. Di perairan yang sangat kaya akan nutrien, produksi plankton dapat
menjadi sangat berlebihan. Spesies plankton tertentu muncul secara berkala
dalam kuantitas yang sangat besar, yang sering dikenal sebagai “algal bloom”.
Beberapa alga tertentu dapat menimbulkan bau dan rasa yang tidak sedap di
perairan, dan mengakibatkan konsekuensi yang sama jika perairan menerima
material organik dari sumber-sumber pencemar, yaitu sejumlah besar oksigen
dalam air terkonsumsi ketika sejumlah besar plankton yang mati berpindah ke
dasar perairan dan terdegradasi. Defisiensi oksigen dapat mengurangi kehiupan
bentik dan ikan. Jika perairan bentik menjadi de-oksigenasi, hidrogen sulfid
(H2S) akan meracuni semua bentuk kehidupan di perairan. Akhirnya eutrofikasi
berat dapat menimbulkan pengurangan sejumlah spesies tanama dan hewan di
perairan.
Secara
singkat dampak eutrofiaksi di perairan dapat dirangkum sebagai berikut:
1) Rusaknya
habitat untuk kehidupan berbagai spesies ikan dan invertebrata. Kerusakan
habitat akan menyebabkan berkurangnya biodiversitas di habitat akuatik dan
spesies lain dalam rantai makanan.
2) Konsentrasi
oksigen terlarut turun sehingga beberapa spesies ikan dan kerang tidak toleran
untuk hidup.
3) Rusaknya
kualitas areal yang mempunyai nilai konservasi/ cagar alam margasatwa.
4) Terjadinya
“alga bloom” dan terproduksinya senyawa toksik yang akan meracuni ikan dan
kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi masyarakat dan merusak industri
perikanan. Pada masa kini hubungan antara pengkayaan nutrien dengan adanya
insiden keracunan kerang di perairan pantai/laut meningkat
5) Produksi
vegetasi meningkat sehingga penggunaan air untuk navigasi maupun rekreasi
menjadi terganggu. Hal ini berdampak pada pariwisata dan industri pariwisata.






0 komentar:
Posting Komentar